![]() |
Kompleks Waruga Sawangan. Foto: Kemdikbud |
Pernah dengar tentang Waruga? Saya pertama kali melihat fotonya secara tidak sengaja, dan langsung penasaran. Bentuknya unik, seperti rumah mungil dari batu dengan atap segitiga. Ternyata, itu adalah kuburan batu kuno, guys. Dan bukan sembarang kuburan, melainkan sebuah mahakarya Situs Budaya Waruga yang penuh dengan filosofi hidup.
Awalnya saya pikir ini cuma peninggalan batu biasa, tapi setelah baca-baca dan akhirnya berkesempatan mengunjungi salah satu situsnya, pemikiran saya berubah total. Saya berkunjung ke Taman Purbakala Waruga di Sawangan, Airmadidi. Jaraknya nggak terlalu jauh dari Manado, hanya sekitar 30-40 menit naik mobil. Begitu masuk, suasana hening langsung menyergap. Puluhan Waruga berjejer rapi, masing-masing punya cerita.
Yang bikin saya tercengang adalah filosofi di baliknya. Nama "Waruga" sendiri berasal dari bahasa Tombulu, wale (rumah) dan ruga (badan yang hancur). Secara harfiah artinya "rumah untuk badan yang akan kembali ke surga". Dalam dan mendalam banget, kan? Jenazahnya pun dimakamkan dalam posisi unik, seperti bayi dalam kandungan, yang disebut whom . Filosofinya, manusia mengawali dan mengakhiri hidup dalam posisi yang sama. Mereka juga dihadapkan ke utara, karena diyakini nenek moyang mereka berasal dari sana.
Yang paling menarik perhatian saya adalah ukiran-ukiran di setiap penutupnya. Ini bukan sekadar hiasan, tapi adalah biografi sang almarhum! Ukiran manusia wanita bersalin menandakan ia mungkin seorang dukun beranak. Ukiran hewan seperti sapi atau ayam bisa menandakan profesi sebagai peternak. Ada juga motif geometris seperti awan dan duri ikan yang begitu detail dibuatnya. Bayangkan, pada zaman dahulu, dengan peralatan seadanya, mereka sudah bisa membuat seni pahat seindah ini. Sungguh membuktikan tingginya peradaban saat itu.
Tapi, nggak semua orang bisa dimakamkan di sini. Waruga ini khusus untuk orang-orang yang punya status sosial tinggi, seperti kepala adat, dukun, atau pemburu yang dihormati. Ukuran waruganya pun bervariasi, dari yang kecil sampai setinggi 2,5 meter, dan konon mencerminkan strata sosial mereka juga.
Sayangnya, tradisi ini terpaksa berhenti sekitar tahun 1860. Pemerintah kolonial Belanda melarangnya karena dikhawatirkan menjadi sumber wabah penyakit seperti pes dan kolera. Larangan ini seiring juga dengan masuknya ajaran Kristen yang membawa cara penguburan baru.
Untungnya, warisan berharga ini nggak begitu saja dilupakan. Pada tahun 1977, dilakukan pemugaran besar-besaran. Lalu, setahun kemudian, tepatnya pada 23 Oktober 1978, situs ini secara resmi dijadikan Taman Purbakala oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Bapak Daoed Joesoef. Sekarang, tempat ini bukan cuma situs purbakala, tapi juga jadi destinasi edukasi yang bagus banget. Ada museum kecil yang menjelaskan sejarahnya, lengkap dengan fasilitas umum untuk pengunjung.
Meski begitu, tantangan pelestariannya tetap ada. Dengar-dengar sih, situs lain seperti di Lotta sempat mengalami kerusakan dan penjarahan. Miris ya. Makanya, kita yang berkunjung harus punya kesadaran untuk menjaganya. Jangan sampai coret-coret atau mengambil sesuatu dari sana.
Buat saya pribadi, berkunjung ke Situs Budaya Waruga ini seperti membaca buku sejarah yang hidup. Kita nggak cuma melihat batu, tapi menyelami cara berpikir, keyakinan, dan penghormatan sebuah suku terhadap leluhur dan siklus kehidupan. Ini adalah warisan yang sangat berharga dan kita semua bertanggung jawab untuk menjaganya. Jadi, kalau kalian jalan-jalan ke Sulawesi Utara, jangan lupa mampir ke sini. Dijamin, perspektif kalian tentang budaya Indonesia akan makin kaya.
Penutup
Mungkin hanya sampai di sini saja postingan saya kali ini. Seperti biasa jika ada pertanyaan bisa disampaikan melalui kolom komentar.
Terima kasih.
Posting Komentar untuk "Ternyata Begini Sejarah Waruga di Minahasa Sulawesi Utara, Kaya Akan Budaya"